Drama ini diambil dari cerpen yang berjudul Orang Gila karya Mustaqim
Pemeran Drama Orang Gila
Bu Bambang (Ibu) : Amalia Nurul Rizky
Pak Bambang (Ayah) :
Angzala W. D.
Karto (orang gila) :
Pierl K. S
Bu Kharim (tetangga) :
Dewi Ambarwati
Salmah (anak bu Bambang) : Katarina Yos Pamela (tambahan)
Narator :
Dewi Ambarwati
Naskah Drama Orang Gila
Suatu hari belum genap satu minggu tinggal di rumah kontrakan baru,
istri pak Bambang sudah merasa tidak nyaman. Berkali-kali keluarga tersebut
berpindah-pindah tempat tinggal karena pekerjaan pak Bambang.
Bu Bambang : (mengaduk
kopi kemudian berjalan dan meletakkan kopi tersebut diatas meja) “Mas, semakin
hari kita tinggal disini, bukannya tambah kerasan
tapi aku malah nggak nyaman mas.”
Pak Bambang : (menutup
korannya) “Sudahlah dik, kita memang baru satu minggu tinggal disini. Kalau
kamu sudah kenal tetangga kanan-kiri, lama-lama juga betah tinggal disini.”
Bu Bambang : “Ini masalahnya
bukan adaptasi mas, tapi soal orang gila itu lho. Katanya dia sering gangguin
orang.”
Pak Bambang : “Orang gila mana?”
Bu Bambang : “Mas belum
tahu? Apa pura-pura tidak tahu? Sejak empat hari ini dia selalu duduk diteras
rumah kita mas. Matanya tajam menatap setiap orang yang lewat. Bila aku
melihatnya dari dalam rumah dia malah tersenyum. Malah dia pernah melambaikan
tangan pada Salmah mas. Aku takut.”
Pak Bambang : “Kenapa mesti
takut? Mungkin saja dia hanya bersikap
ramah dengan warga baru.”
Bu Bambang : “Katanya dia selalu berbuat kasar pada anak
kecil mas.”
Pak Bambang : “Ah sudahlah, yang
penting kamu tidak mengganggunya dia juga pasti tidak akan mengganggu kamu.”
Bu Bambang : “Iya tapi mas, .....”
(Belum selesai bu Bambang berbicara, ponsel pak Bambang berdering)
Pak Bambang : “Sebentar ya.” (kemudian berdiri
meninggalkan bu Bambang)
Pak Bambang : “Halo, selamat
siang pak. Iya ini saya.” (suaranya terdengar samar-samar dari tempat bu Bambang
duduk)
Bu Bambang : “Hah, kalau
begini terus bisa-bisa aku jadi dibenci tetangga gara-gara tidak pernah keluar
rumah.”
Kemudian bu Bambang berdiri dan berjalan membuka pintu. Dia berniat
untuk mencari tahu siapa sebenarnya orang gila itu dengan bertanya kepada bu
Kharim.
Bu Bambang : “Assalamualaikum bu Kharim.”
Bu Kharim : “Wa’alaikumsalaaam
waroh matulah. Eh mbak Bambang, mari duduk, mbak.”
Bu Bambang : “Terimakasih, tapi
jangan dipanggil mbak atuh, ngga enak. Enak ibu Bambang saja.”
Bu Kharim : “Hahaha, iya ibu Bambang. Tumben sekali
keluar rumah.”
Bu Bambang : “Iya bu Kharim,
jadi begini, maksud saya datang kesini itu mau mencari tahu, orang gila yang di
depan rumah saya itu sebenernya siapa sih bu?
Bu Kharim : “Eh iya
hati-hati bu, ini tadi bu Bambang kesini tidak lupa mengunci pintu bukan?”
Bu Bambang : “Oh tadi cuma
saya tutup bu, soalnya ada suami saya, jadi agak tenang.”
Bu Kharim : “Syukurlah, begini
jeng, eh bu Bambang, orang gila itu sering tiba-tiba masuk rumah, minta makan
atau rokok. Biasanya kalau tidak diberi, dia pasti marah. Dia biasanya dia juga
membuang bangkai kucing di atap rumah orang yang dibencinya.”
Bu Bambang : “Astafirllah, seperti
itukah bu? Saya orang baru disini, jadi tolong maklum kalau tidak mengerti
apa-apa.”
Bu Kharim : “Oh iya, kalau
ada apa-apa kesini saja, siapa tau saya bisa membantu. Mungkin mbak Bambang
minta diajarin bikin kue kali ya? Saya pasti mau membantu mbak.”
Bu Bambang : “Waduh saya
dipanggil mbak lagi. Memang saya masih muda sekali ya dipanggil mbak?”
Bu Kharim :“Hahaha, ya
iyalah jeng. Kalau sudah tua juga pasti saya panggil nenek. Lagian jeng Bambang
anaknya baru satu kan? Masih kecil kan? makanya saya panggil mbak.”
Bu Bambang : “Ah bu Kharim bisa saja.”
Bu Kharim : “Hahaha, sudah
sudah biasa saja, biasanya orang sini paling sering manggilnya jeng, bu Bambang tidak masalah kan kalau saya sering
manggil jeng? eh iya jeng anaknya jeng Bambang namanya siapa? Kok nggak diajak
kesini?”
Bu Bambang : “Haha, iya, ini
tadi ada ayahnya, dia senang bermain dengan ayahnya kalau sedang libur seperti
ini.”
Bu Kharim : “Oh, namanya siapa jeng? Belum sekolah
kan?”
Bu Bambang : “Namanya Salmah bu Kharim, dia masih TK nol
kecil.”
Bu Kharim : “Oh saya kita
masih belum sekolah. Eh ini kue bikinan saya, mari dicoba.”
Bu Bambang : “Iya terimakasih bu Kharim, tapi sepertinya
saya harus cepat pulang, tadi sepertinya suami saya mau keluar.”
Bu Kharim : “Oh begitu, ya
sudah jeng. Cepat pulang saja nanti keburu rumahnya dimasuki orang gila.”
Bu Bambang : “Haha, iya terimakasih bu Kharim, Assalamualaikum.”
Bu Kharim : “Wa’alaikumsalam.”
Kemudian bu Bambang meninggalkan rumah bu Kharim. Setelah sampai di
rumah, bu Bambang berfikir kembali. Sepertinya orang yang setiap hari di depan
rumahnya itu benar-benar orang gila.
Kehawatirannya semakin menjadi. Dan keesokan harinya, saat bu Bambang
pergi ke pasar, Bu Bambang bertemu lagi dengan Bu Kharim.
Bu Bambang : “Belanja apa Bu Kharim?”
Bu
Kharim : “Eh Bu Bambang, saya mau
masak sop ini.”
Bu Bambang : “Haha, saya
juga rencana masak sop ini,
Bu Kharim : “Eh iya, bu Bambang
sudah tahu belum ? pak RT kemarin jadi korban ulah orang gila itu. Suatu senja
begitu jeng, ketika pak Imam dan istrinya duduk di teras rumah, lelaki itu lewat dan tanpa dosa
tiba-tiba menyambar batang rokok dari tangannya.”
Bu Bambang :“Astagfirllah. Seperti itukah jeng orang
gila disini?”
Bu Kharim : “Wah bu Bambang
ini, tidak cuman itu jeng. Gara-gara setelah kejadian di rumah pak Imam itu, pak
Imam marah dan mengatainya tidak sopan. Keesokkan harinya, astagfirulohalaziiiim,
pintu depan rumahnya penuh dengan kotoran manusia jeng. Benar-benar orang gila
bukan?”
Bu Bambang :“Wah saya jadi
merinding bu mendengarnya.”
Bu Kharim : “Nah itu dia
jeng, jeng Bambang punya anak seusia anak Bu Rifa’i kan? Sebaiknya jangan
pernah boleh keluar rumah kecuali sama jeng Bambang. Bahaya. Kemarin lusa, anak
Bu Rifa’i yang kecil itu tiba-tiba diceburkan ke comberan jeng. Apa benar-benar
sialan bukan ?”
Bu Bambang :“Ya ampun, terimakasih ya bu Kharim atas
informasinya?”
Bu Kharim : “iya jeng
sama-sama, yang penting jeng Bammbang tidak mengusik, dia juga tidak apa-apa kok.”
Bu Bambang : “Oh begitu, iya.
Terima kasih banyak Bu Kharim. Informasinya bermanfaat sekali.”
Bu
Kharim : “Iya sama-saya, saya duluan
ya. Sayur sopnya ditungguin tuh.”
Bu Bambang : “Haha, iya Bu Kharim. Maaf tadi saya ajak
ngobrol.”
Bu
Kharim : “Ah tidak apa-apa,.
Assalamualaikum.”
Bu Bambang : “Wa’alaikum salam. Mbak kubis sama
wortelnya masih?”
Tukang
sayur : “Oh masih buk.”
Setelah berbelanja bu Bambang dirumah berfikir. Untungnya setelah
pindah, anaknya disekolahkan di TK plus, jadi keamanan anaknya pasti terjaga.
Selain itu bu Bambang juga tidak perlu repot-repot mengantarkannya ke sekolah
setiap hari, karena setiap hari sudah dijemput oleh mobil jemputan sekolahnya.
Kemudian cerita dari para tetangga yang telah didapat bu Bambang sudah di sampaikan
keepada suaminya. Namun suaminya tetap saja dingin dan tidak peduli. Sampai
pada suatu hari, lelaki itu datang lagi di depan rumah pak Bambang. Pak Bambang
tampak siaga kalau dia berbuat sesuatu. Tetapi apa yang mereka khawatirkan
ternyata tidak terjadi. Lelaki gila itu hanya diam sambil sesekali memandang ke
dalam rumah. Menurut taksiran bu Bambang, lelaki itu berusia duapuluh lima
tahun. Penampilannya sangat menakutkan. Pakaian yang kotor dan compang-camping
memberikan kesan bahwa dia tidak waras. Wajahnya keras dan pandangannya matanya
tajam menusuk, seolah-olah dadanya pernah menyimpan dendam. Tubuhnya kurus
kurang makan dan kedua tangannya nyaris tampa otot.
Hampir setengah jam pak Bambang dan istrinya melihat lelaki itu
dari dalam rumah, namun tidak ada aksi apapun yang dilakukan lelaki itu.
Kemudian pak Bambang berniat untuk menegurnya.
Pak Bambang : “Ah dari pada berlama lama disini, lebih
baik aku tegur saja orang itu.”
Bu Bambang : “Jangan pak, nanti
kau kejadiannya malah kayak keluarganya pak Imam bagaimana?”
Pak Bambang : “Ah biarkan saja.”
(suara
orang membuka pintu)
Pak Bambang : “Rupanya diluar ada orang. Maaf, kami disini warga baru, jadi kami belum
banyak mengenal orang-orang disini.”
Lelaki itu hanya mengangguk dan menatap pak Bambang seperti orang
curiga. Pak Bambang membiarkannya. Namun setelah beberapa detik, pak Bambang mengambil
rokok di sakunya kemudian mencoba memberinya rokok. Setelah itu tatapan mata
lelaki itu baru sedikit lunak dan mau menjawab pertanyaan dari pak Bambang.
Pak Bambang : “Oh ya, kita belum berkenalan. Perkenalkan
saya Bambang.”
Orang
gila : “Saya Karto, pak.”
Pak Bambang : “Oh, jadi
namamu Karto. Kamu tinggal dimana?”
Orang
gila : “Tak punya rumah, pak.”
Pak Bambang : “Oh, lalu kerjamu apa?”
Orang
gila : “Minta-minta pak.”
Pak Bambang : “Banyak ya, orang yang mau meberimu sedekah?”
Orang
gila : “emm, endak.”
Pak Bambang : “Lalu kenapa
kamu tidak mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang? Kan banyak pekerjaan yang bisa menghasilkan
uang yang cukup untuk makan.”
Orang gila : “Tidak ada
yang mau memberi saya pekerjaan pak. Orang-orang malah mengatai saya orang gila.”
Pak Bambang : “Oh jadi begitu. Tapi kalau ada pekerjaan, apa
kamu mau melakukannya?”
Orang
gila : “Mau, pak. Saya mau.”
Pak Bambang : “Sebentar ya. Buk, keluar buk, kita ada tamu.
Salmah juga, keluar nak.”
Mendengar jawaban lelaki itu kalau dia mau belerja, pak Bambang
memanggil bu Bambang dan Salmah juga. Namun tidak dihiraukan oleh istri pak Bambang.
Baru setelah pak Bambang memanggil sekitar empat kali, bu Bambang baru mau
mengangkat kakinya untuk keluar rumah dan menggandeng Salmah untuk menemui
lelaki itu.
Pak Bambang : “Wah ibu ini, dipanggil
berkali-kali tidak keluar-keluar. Kenalkan, ini kawan kita. Karto namanya.”
Bu Bambang masih berfkir apa yang harus dia lakukan setelah pak Bambang
berkata kepadanya. Namun setelah pak Bambang mengeripkan mata kirinya, barulah
bu Bambang mau mengulurkan tangannya.
Pak Bambang : “Nah, Karto, ini
istriku. Panggil bu Bambang saja, terus ini Salmah anak kami.”
Salmah : “Paman...”
Sikap Karto dengan kedatangan istri pak Bambang dan juga anaknya ternyata
membuat Karto bersikap semakin baik dan benar-benar memperlihatkan bahwa dia
sebenarnya bukan orang gila. Selain itu dia juga bersikap baik dengan Salmah.
Bahkan Salmah diangkatnya keatas pangkuannya. Awalnya bu Bambang takut, apakah Salmah
diangkat kemudian diceburkan ke comberan seperti anak bu Rifa’i. Ternyata tidak.
Untungnya selang beberapa detik Salmah kembali kepada ayahnya. Bu Bambang
bernafas lega. Setelah itu pak Bambang mempersilakan Karto duduk di kursi depan
rumahnya.
Pak Bambang : “Buk, tolong kamu
ambilkan dua baju dan dua celana yang sudah tidak aku pakai tapi belum begitu
usang.”
Bu Bambang : “Untuk apa mas?”
Pak Bambang : “Sudah ambilkan saja.”
Bu Bambang : “Ya sudah, tunggu sebentar.”
Beberapa saat kemudian bu Bambang datang dengan membawa dua baju
dan celana milik pak Bambang. Kemudian memberikannya kepada pak Bambang.
Pak Bambang : “To, ini ada baju untuk kamu.”
Karto
:“Wah terimakasih banyak,
pak.”
Pak Bambang : “Iya sama-sama
itu baju yang sudah tidak saya pakai, tapi belum begitu usang. Kamu bisa
menggunakannya. Sekarang kamu jawab ya, kamu mau tidak saya beri pekerjaan?”
Karto : “Mau pak, pekerjaan apa pak?”
Pak Bambang : “Mengecat dinding rumah ini. Bisa kan?”
Karto : “Oh bisa pak. Kapan saya bisa
bekerjanya?”
Pak Bambang : “Besok pagi ya, kamu datang kesini. Nanti
saya belikan dulu catnya.”
Karto : “Baik,
pak. Terimakasih, pak. Kalau begitu saya pergi dulu. Salmah, paman pergi dulu
ya.”
Salmah : “Iya
paman...”
Selah itu Karto pergi meninggalkan rumah pak Bambang. Esok harinya Karto
sudah mulai bekerja di rumah pak Bambang. Sebelum pak Bambang pergi ke kantor, dia
berpesan kepada istrinya agar tidak terlalu kasar terhadap Karto. Bahkan
dianjurkan untuk memperlakukan dia dengan baik dan sopan.
Setelah pak Bambang pulang dari kantor, separoh dinding rumah pak Bambang
sudah putih bersih. Pak Bambang melihat Karto sedang duduk istirahat di depan
rumah samil menghisap rokok. Badannya basah oleh peluh. Tampak sekali ia
keletihan. Kemudian pak Bambang menghampirinya.
Pak Bambang : “Bagaimana, To?”
Karto : “Belum selesai pak, besok ini
selesainya, saya capek.”
Pak Bambang : “Ooh, iya tidak
apa. Yang penting diselesaikan. Ini To, upah kerjamu hari ini.” (sambil
mengulurkan uang duapuluh ribuan)
Karto : “Wah, kok
banyak pak? terimakasih sekali. Besok pasti selesai ini ngecatnya.”
Karto sangat kegirangan mendapatkan upah dari pak Bambang. Pak Bambang
juga semakin yakin kalau sebenarnya Karto bukan orang gila. Buktinya dia bisa
menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Keesokan harinya saat pekerjaan pertama
Karto sudah selesai, Karto bertanya kepada pak Bambang yang baru pulang dari
kantor.
Karto : “Pak Bambang,
ngecatnya sudah selesai pak. Apa ada kerjaan lagi untuk saya?”
Pak Bambang : “Terimakasih ya, tapi untuk pekerjaan
sepertinya belum ada.”
Karto : “Yasudah, nanti kalau ada
langsung beri tahu saya ya pak.”
Sikap pak Bambang terhadap Karto membuat pada tetangga heran. Para
tetangga menilai keluarga pak Bambang terlalu memberi hati kepada Karto, mereka
juga bilang suatu saat keluarga pak Bambang pasti akan kena batunya.
Berkali-kali mendengar omongan tetangganya, pak Bambang hanya tersenyum.
Setelah dua hari Karto menyelesaikan tugasnya, tanpa disuruh
siapa-siapa, Karto terlihat membersihkan halaman rumah pak Bambang. Dan hal itu
dilakukan Karto dengan sangat rapi dan hasilnya benar-benar bersih. Mengetahui
itu bu Bambang hanya berdiam diri didalam rumah.
Kemudian setelah pak Bambang pulang dari kantor, dia melihat
pekarangan rumah yang semula kotor penuh rumput dan daun berserakan tiba-tiba
jadi begitu bersih. Bu Bambang cepat-cepat memberi tahunya setelah pak Bambang
masuk kerumah.
Bu Bambang : “Mas, Karto mas.”
Pak Bambang : “Kenapa dia?”
Bu Bambang : “Tadi dia
membersihkan pekarangan rumah kita, apa mas yang menyuruhnya?”
Pak Bambang : “Oh jadi yang
membuat halaman rumah kita jadi bersih itu Karto? Aku tidak tahu apa-apa dik. “
Bu Bambang : “Ah gara-gara
mas, aku jadi sungkan sama tetangga-tetangga. Kehadiran Karto di RT sini tidak
disukai warga mas, mereka berusaha agar Karto pergi dari desa sini. Tapi
keluarga kita malah membuatnya betah. Itu membuatku semakin tidak nyaman mas.”
Pak Bambang : “Sudahlah, nanti
biar aku beritahu si Karto. Tidak usah mendengarkan omongan tetangga. Yang
penting kita tidak diganggu kan?”
Bu Bambang : “Hmm...”
Bu Bambang selalu jengkel mendengar jawaban suaminya yang selalu
dingin mengenai Karto. Apalagi pak Bambang juga sering mengijinkan Salmah
bermain bersama Karto. Salmah semakin akrap dengan Karto. Hal itu semakin
membuat khawatir bu Bambang. Kemudian saat pak Bambang melihat Karto di depan
rumahnya, dia keluar dan bertanya-tanya kepada Karto.
Pak Bambang : “To, kamu ya yang membersihkan halaman rumah
ini tadi?”
Karto : “Iya pak, saya memang sengaja
membersihkannya tadi.”
Pak Bambang : “Memang siapa yang menyurmu membersihkannya
To?”
Karto : “Tidak
ada pak, tapi memang saya ingin membersihkannya. Saya ikhlas, pak.”
Pak Bambang : “Terimakasih ya, ini ada sedikit uang untuk
kamu.”
Karto : “Wah terimakasih banyak pak.
Kebetulan saya juga sedang butuh uang.”
Pak Bambang : “Oh, iya sudah, saya masuk dulu ya, To.”
Karto : “Tapi pak, boleh kan Salmah saya
ajak bermain?”
Pak Bambang : “Oh iya, tentu,
hati-hati. Awas kalau Salmah sanpai kenapa-kenapa.” (sambil tertawa)
Karto : “Iya pak, Salmah pasti akan
saya jaga.”
Kemudian tanpa basa-basi, Karto langsung mengangkat Salmah dan mengajaknya
pergi. Bu Bambang tampak khawatir di dalam rumah. Tapi sebisa mungkin dia
percaya dengan semua yang dibicarakan suaminya. Semoga Salmah benar-benar
dijaga dengan baik.
Tidak lama kemudian, Karto datang dan mengetuk pintu rumah bu Bambang.
Bu Bambang : “Eh sudah pulang. Loh, Salmah, itu coklat dari mana sayang?”
Salmah : “Dari paman Karto, mah.”
Pak Bambang : “Tadi katanya
kamu sedang butuh uang, kenapa malah kamu pakai untuk membelikan salmah coklat?”
Karto : “Iya pak, saya butuh uang untuk
membelikan Salmah coklat.”
Bu Bambang : “Oh begitu, terimakasih ya. Salmah bilang
apa kepada paman?”
Salmah : “Terimakasih paman.”
Karto : “Iya
sama-sama. Besok-besok, Salmah mau ya main sama paman lagi. Ya sudah, pak, bu
saya pamit dulu. Mari.”
Pak Bambang : “Oh iya, mari-mari.”
Bu Bambang : “Mas sudah berapa
kali aku bilang jangan biarkan Salmah pergi dengan orang gila itu. Di desa ini Karto
dikenal sebagai orang gila mas, aku tidak suka Salmah sering bermain dengan
orang yang dianggap warga orang gila itu. Bersikap netral sajalah mas, tidak
usah memberinya pekerjaan.”
Pak Bambang : “Aku tidak memberinya pekerjaan, dik.”
Bu Bambang : “Ah sudahlah, yang
penting jangan seenaknya sendiri membiarkan Salmah bermain dengannya.”
Bu Bambang
sangat kesal dengan perlakuan suaminya terhadap Karto. Kemudian saat hari Minggu,
Karto kembali lagi kerumah bu Bambang dengan membawa enam buah mangga
kecil-kecil. Dia memberikan buah mangga itu kepada bu Bambang saat dia sedang duduk
diteras rumahnya dan pak Bambang sedang membaca korang di ruang tamu.
Karto : “Permisi bu. Ini ada mangga untuk Salmah.”
Bu Bambang : “Tak usah, bawa saja mangga-mangga itu.”
Karto : “Ibu tidak mau?”
Bu Bambang : “Untuk kamu saja. Disini tak ada yang makan.”
Setelah
itu Karto berbalik arah dan melangkah meninggalkan rumah tersebut. Pak Bambang
yang mengetahui hal itu langsung spontan meloncat menghampiri dan memelototi bu
Bambang.
Pak Bambang : “Ibu ini apa-apaan sih.”
Bu Bambang : “Ah sudahlah pak, tidak ada yang makan.”
Pak Bambang : “Hei Karto, kamu akan memberikan manggamu
itu kepada kami kan?”
Karto : “Eh pak Bambang. Iya pak, tapi
ibu menolaknya.”
Pak Bambang : “Ibu hanya bercanda, To. Dari mana kamu mendapatkan mangga-mangga ini?”
Karto : “Ini
dari pedagang buah di pasar, tadi saya membantu menurunkannya dari truk pak.”
Pak Bambang : “Tadi bu Bambang
sedang menggodamu. Sebenarnya kami menginginkan mangga itu. Sini, sudah lama
kami tak makan mangga.”
Karto : (dengan senyum lebar) “Ini,
pak. Silakan.”
Bu Bambang hanya mematung dikursi melihat suaminya dan Karto
berbicara. Sedangkan Karto wajahnya tampak berseri dan dia sangat antusias
memberikan mangga itu kepada pak Bambang.
Pak Bambang : “Terimakasih, ya.”
Karto : “Iya pak, saya langsung pergi.
Mari.”
Pak Bambang : “Iya mari.”
Bu Bambang : “Untuk apa mangga ini terima mas?”
Pak Bambang : “Mangga ini
boleh kamu buang tapi jangan sekali-sekali menolak pemberian orang lain.”
Bu Bambang : “Apa artinya
mangga itu kita terima kalu akhirnya kita buang, mas? (Dengan nada naik.)
Pak Bambang : “Dengan
menerima pemberiannya, berarti kita telah memberi kesempatan baginya untuk
berbuat baik kepada orang lain. Sekaligus kita telah memberinya pengakuan, ngewongke bahasa jawanya. Suatu
penghargaan tertinggi itu dari rasa kemanusiaan. Dan itulah yang tidak pernah Karto
peroleh dari orang-orang disini, sehingga dia marah dan suka melakukan hal-hal
yang merugikan.”
Mendengar perkataan suaminya bu Bambang hanya bisa diam. Dan dari
hari semakin hari keakraban keluarga pak Bambang dengan Karto semakin baik
terutama dengan Salmah. Secara tak diduga Karto malah jadi tukang momong Salmah
disaat dia sudah pulang sekolah tapi bu Bambang masih repot. Bahkan jika sehari
saja Karto tidak datang, Salmah sering menanyakannya kepada ibunya.
Pak Bambang : (meminum
kopi di ruang tamu dan menunjuk kearah teras) “Lihat, dia makin tampak
waras bukan?”
Bu Bambang
: “Iya, mas.”
Pasangan suami istri tersebut bersama melihat keakraban Karto dan Salmah
dari dalam rumahnya. Wajah Karto tampak terpancar harapan dan rasa percaya diri.
Pak Bambang dan bu Bambang merasa bangga telah menolong Karto yang selama ini
tidak pernah dianggap orang waras oleh warga tempat pak Bambang tinggal.
Dan begitulah akhir dari cerita “Orang Gila” ini, janganlah kita
memandang rendah seseorang dari penampilannya. Selalu hargai Orang lain.
Terima kasih atas dukungan guru pembimbing dan teman-teman.
(hasil rekamannya ada lho, dengerin di youtube yak, di akunnya Dewiambarable)
semoga membantu