Halaman

Jumat, 14 Juni 2013

Naskah Drama "Orang Gila"

Drama ini diambil dari cerpen yang berjudul Orang Gila karya Mustaqim
Pemeran Drama Orang Gila

Bu Bambang (Ibu)                  : Amalia Nurul Rizky
Pak Bambang (Ayah)              : Angzala W. D.
Karto (orang gila)                    : Pierl K. S
Bu Kharim (tetangga)             : Dewi Ambarwati
Salmah (anak bu Bambang)    : Katarina Yos Pamela (tambahan)
Narator                                    : Dewi Ambarwati



Naskah Drama Orang Gila

Suatu hari belum genap satu minggu tinggal di rumah kontrakan baru, istri pak Bambang sudah merasa tidak nyaman. Berkali-kali keluarga tersebut berpindah-pindah tempat tinggal karena pekerjaan pak Bambang.
Bu Bambang   : (mengaduk kopi kemudian berjalan dan meletakkan kopi tersebut diatas meja) “Mas, semakin hari kita tinggal disini, bukannya tambah kerasan tapi aku malah nggak nyaman mas.”
Pak Bambang  : (menutup korannya) “Sudahlah dik, kita memang baru satu minggu tinggal disini. Kalau kamu sudah kenal tetangga kanan-kiri, lama-lama juga betah tinggal disini.”
Bu Bambang   : “Ini masalahnya bukan adaptasi mas, tapi soal orang gila itu lho. Katanya dia sering gangguin orang.”
Pak Bambang  : “Orang gila mana?”
Bu Bambang   : “Mas belum tahu? Apa pura-pura tidak tahu? Sejak empat hari ini dia selalu duduk diteras rumah kita mas. Matanya tajam menatap setiap orang yang lewat. Bila aku melihatnya dari dalam rumah dia malah tersenyum. Malah dia pernah melambaikan tangan pada Salmah mas. Aku takut.”
Pak Bambang  : “Kenapa mesti takut?  Mungkin saja dia hanya bersikap ramah dengan warga baru.”
Bu Bambang   : “Katanya dia selalu berbuat kasar pada anak kecil mas.”
Pak Bambang  : “Ah sudahlah, yang penting kamu tidak mengganggunya dia juga pasti tidak akan mengganggu kamu.”
Bu Bambang   : “Iya tapi mas, .....” (Belum selesai bu Bambang berbicara, ponsel pak Bambang berdering)
Pak Bambang  : “Sebentar ya.” (kemudian berdiri meninggalkan bu Bambang)
Pak Bambang  : “Halo, selamat siang pak. Iya ini saya.” (suaranya terdengar samar-samar dari tempat bu Bambang duduk)
Bu Bambang   : “Hah, kalau begini terus bisa-bisa aku jadi dibenci tetangga gara-gara tidak pernah keluar rumah.”
Kemudian bu Bambang berdiri dan berjalan membuka pintu. Dia berniat untuk mencari tahu siapa sebenarnya orang gila itu dengan bertanya kepada bu Kharim.
Bu Bambang   : “Assalamualaikum bu Kharim.”
Bu Kharim      : “Wa’alaikumsalaaam waroh matulah. Eh mbak Bambang, mari duduk, mbak.”
Bu Bambang   : “Terimakasih, tapi jangan dipanggil mbak atuh, ngga enak. Enak ibu Bambang saja.”
Bu Kharim      : “Hahaha, iya ibu Bambang. Tumben sekali keluar rumah.”
Bu Bambang   : “Iya bu Kharim, jadi begini, maksud saya datang kesini itu mau mencari tahu, orang gila yang di depan rumah saya itu sebenernya siapa sih bu?
Bu Kharim      : “Eh iya hati-hati bu, ini tadi bu Bambang kesini tidak lupa mengunci pintu bukan?”
Bu Bambang   : “Oh tadi cuma saya tutup bu, soalnya ada suami saya, jadi agak tenang.”
Bu Kharim      : “Syukurlah, begini jeng, eh bu Bambang, orang gila itu sering tiba-tiba masuk rumah, minta makan atau rokok. Biasanya kalau tidak diberi, dia pasti marah. Dia biasanya dia juga membuang bangkai kucing di atap rumah orang yang dibencinya.”
Bu Bambang   : “Astafirllah, seperti itukah bu? Saya orang baru disini, jadi tolong maklum kalau tidak mengerti apa-apa.”
Bu Kharim      : “Oh iya, kalau ada apa-apa kesini saja, siapa tau saya bisa membantu. Mungkin mbak Bambang minta diajarin bikin kue kali ya? Saya pasti mau membantu mbak.”
Bu Bambang   : “Waduh saya dipanggil mbak lagi. Memang saya masih muda sekali ya dipanggil mbak?”
Bu Kharim      :“Hahaha, ya iyalah jeng. Kalau sudah tua juga pasti saya panggil nenek. Lagian jeng Bambang anaknya baru satu kan? Masih kecil kan? makanya saya panggil mbak.”
Bu Bambang   : “Ah bu Kharim bisa saja.”
Bu Kharim      : “Hahaha, sudah sudah biasa saja, biasanya orang sini paling sering manggilnya jeng, bu Bambang tidak masalah kan kalau saya sering manggil jeng? eh iya jeng anaknya jeng Bambang namanya siapa? Kok nggak diajak kesini?”
Bu Bambang   : “Haha, iya, ini tadi ada ayahnya, dia senang bermain dengan ayahnya kalau sedang libur seperti ini.”
Bu Kharim      : “Oh, namanya siapa jeng? Belum sekolah kan?”
Bu Bambang   : “Namanya Salmah bu Kharim, dia masih TK nol kecil.”
Bu Kharim      : “Oh saya kita masih belum sekolah. Eh ini kue bikinan saya, mari dicoba.”
Bu  Bambang  : “Iya terimakasih bu Kharim, tapi sepertinya saya harus cepat pulang, tadi sepertinya suami saya mau keluar.”
Bu Kharim      : “Oh begitu, ya sudah jeng. Cepat pulang saja nanti keburu rumahnya dimasuki orang gila.”
Bu Bambang   : “Haha, iya terimakasih bu Kharim, Assalamualaikum.”
Bu Kharim      : “Wa’alaikumsalam.”
Kemudian bu Bambang meninggalkan rumah bu Kharim. Setelah sampai di rumah, bu Bambang berfikir kembali. Sepertinya orang yang setiap hari di depan rumahnya itu benar-benar orang gila.
Kehawatirannya semakin menjadi. Dan keesokan harinya, saat bu Bambang pergi ke pasar, Bu Bambang bertemu lagi dengan Bu Kharim.
Bu Bambang   : “Belanja apa Bu Kharim?”
Bu Kharim      : “Eh Bu Bambang, saya mau masak sop ini.”
Bu Bambang   : “Haha, saya juga rencana masak sop ini,
Bu Kharim      : “Eh iya, bu Bambang sudah tahu belum ? pak RT kemarin jadi korban ulah orang gila itu. Suatu senja begitu jeng, ketika pak Imam dan istrinya duduk di teras  rumah, lelaki itu lewat dan tanpa dosa tiba-tiba menyambar batang rokok dari tangannya.”
Bu Bambang   :“Astagfirllah. Seperti itukah jeng orang gila disini?”
Bu Kharim      : “Wah bu Bambang ini, tidak cuman itu jeng. Gara-gara setelah kejadian di rumah pak Imam itu, pak Imam marah dan mengatainya tidak sopan. Keesokkan harinya, astagfirulohalaziiiim, pintu depan rumahnya penuh dengan kotoran manusia jeng. Benar-benar orang gila bukan?”
Bu Bambang   :“Wah saya jadi merinding bu mendengarnya.”
Bu Kharim      : “Nah itu dia jeng, jeng Bambang punya anak seusia anak Bu Rifa’i kan? Sebaiknya jangan pernah boleh keluar rumah kecuali sama jeng Bambang. Bahaya. Kemarin lusa, anak Bu Rifa’i yang kecil itu tiba-tiba diceburkan ke comberan jeng. Apa benar-benar sialan bukan ?”
Bu Bambang   :“Ya ampun, terimakasih ya bu Kharim atas informasinya?”
Bu Kharim      : “iya jeng sama-sama, yang penting jeng Bammbang tidak mengusik, dia juga tidak apa-apa kok.”
Bu Bambang   : “Oh begitu, iya. Terima kasih banyak Bu Kharim. Informasinya bermanfaat sekali.”
Bu Kharim      : “Iya sama-saya, saya duluan ya. Sayur sopnya ditungguin tuh.”
Bu Bambang   : “Haha, iya Bu Kharim. Maaf tadi saya ajak ngobrol.”
Bu Kharim      : “Ah tidak apa-apa,. Assalamualaikum.”
Bu Bambang   : “Wa’alaikum salam. Mbak kubis sama wortelnya masih?”
Tukang sayur   : “Oh masih buk.”
Setelah berbelanja bu Bambang dirumah berfikir. Untungnya setelah pindah, anaknya disekolahkan di TK plus, jadi keamanan anaknya pasti terjaga. Selain itu bu Bambang juga tidak perlu repot-repot mengantarkannya ke sekolah setiap hari, karena setiap hari sudah dijemput oleh mobil jemputan sekolahnya. Kemudian cerita dari para tetangga yang telah didapat bu Bambang sudah di sampaikan keepada suaminya. Namun suaminya tetap saja dingin dan tidak peduli. Sampai pada suatu hari, lelaki itu datang lagi di depan rumah pak Bambang. Pak Bambang tampak siaga kalau dia berbuat sesuatu. Tetapi apa yang mereka khawatirkan ternyata tidak terjadi. Lelaki gila itu hanya diam sambil sesekali memandang ke dalam rumah. Menurut taksiran bu Bambang, lelaki itu berusia duapuluh lima tahun. Penampilannya sangat menakutkan. Pakaian yang kotor dan compang-camping memberikan kesan bahwa dia tidak waras. Wajahnya keras dan pandangannya matanya tajam menusuk, seolah-olah dadanya pernah menyimpan dendam. Tubuhnya kurus kurang makan dan kedua tangannya nyaris tampa otot.
Hampir setengah jam pak Bambang dan istrinya melihat lelaki itu dari dalam rumah, namun tidak ada aksi apapun yang dilakukan lelaki itu. Kemudian pak Bambang berniat untuk menegurnya.
Pak Bambang  : “Ah dari pada berlama lama disini, lebih baik aku tegur saja orang itu.”
Bu Bambang   : “Jangan pak, nanti kau kejadiannya malah kayak keluarganya pak Imam bagaimana?”
Pak Bambang  : “Ah biarkan saja.”
(suara orang membuka pintu)
Pak Bambang  : “Rupanya diluar ada orang.  Maaf, kami disini warga baru, jadi kami belum banyak mengenal orang-orang disini.”
Lelaki itu hanya mengangguk dan menatap pak Bambang seperti orang curiga. Pak Bambang membiarkannya. Namun setelah beberapa detik, pak Bambang mengambil rokok di sakunya kemudian mencoba memberinya rokok. Setelah itu tatapan mata lelaki itu baru sedikit lunak dan mau menjawab pertanyaan dari pak Bambang.
Pak Bambang  : “Oh ya, kita belum berkenalan. Perkenalkan saya Bambang.”
Orang gila       : “Saya Karto, pak.”
Pak Bambang  : “Oh,  jadi namamu Karto. Kamu tinggal dimana?”
Orang gila       : “Tak punya rumah, pak.”
Pak Bambang  : “Oh, lalu kerjamu apa?”
Orang gila       : “Minta-minta pak.”
Pak Bambang  : “Banyak ya, orang yang mau meberimu sedekah?”
Orang gila       :  “emm, endak.”
Pak Bambang  : “Lalu kenapa kamu tidak mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang?  Kan banyak pekerjaan yang bisa menghasilkan uang yang cukup untuk makan.”
Orang gila       : “Tidak ada yang mau memberi saya pekerjaan pak. Orang-orang malah mengatai saya orang gila.”
Pak Bambang  : “Oh jadi begitu. Tapi kalau ada pekerjaan, apa kamu mau melakukannya?”
Orang gila       : “Mau, pak. Saya mau.”
Pak Bambang  : “Sebentar ya. Buk, keluar buk, kita ada tamu. Salmah juga, keluar nak.”
Mendengar jawaban lelaki itu kalau dia mau belerja, pak Bambang memanggil bu Bambang dan Salmah juga. Namun tidak dihiraukan oleh istri pak Bambang. Baru setelah pak Bambang memanggil sekitar empat kali, bu Bambang baru mau mengangkat kakinya untuk keluar rumah dan menggandeng Salmah untuk menemui lelaki itu.
Pak Bambang  : “Wah ibu ini, dipanggil berkali-kali tidak keluar-keluar. Kenalkan, ini kawan kita. Karto namanya.”
Bu Bambang masih berfkir apa yang harus dia lakukan setelah pak Bambang berkata kepadanya. Namun setelah pak Bambang mengeripkan mata kirinya, barulah bu Bambang mau mengulurkan tangannya.
Pak Bambang  : “Nah, Karto, ini istriku. Panggil bu Bambang saja, terus ini Salmah anak kami.”
Salmah            : “Paman...”
Sikap Karto dengan kedatangan istri pak Bambang dan juga anaknya ternyata membuat Karto bersikap semakin baik dan benar-benar memperlihatkan bahwa dia sebenarnya bukan orang gila. Selain itu dia juga bersikap baik dengan Salmah. Bahkan Salmah diangkatnya keatas pangkuannya. Awalnya bu Bambang takut, apakah Salmah diangkat kemudian diceburkan ke comberan seperti anak bu Rifa’i. Ternyata tidak. Untungnya selang beberapa detik Salmah kembali kepada ayahnya. Bu Bambang bernafas lega. Setelah itu pak Bambang mempersilakan Karto duduk di kursi depan rumahnya.
Pak Bambang  : “Buk, tolong kamu ambilkan dua baju dan dua celana yang sudah tidak aku pakai tapi belum begitu usang.”
Bu Bambang   : “Untuk apa mas?”
Pak Bambang  : “Sudah ambilkan saja.”
Bu Bambang   : “Ya sudah, tunggu sebentar.”
Beberapa saat kemudian bu Bambang datang dengan membawa dua baju dan celana milik pak Bambang. Kemudian memberikannya kepada pak Bambang.
Pak Bambang  : “To, ini ada baju untuk kamu.”
Karto               :“Wah terimakasih banyak, pak.”
Pak Bambang  : “Iya sama-sama itu baju yang sudah tidak saya pakai, tapi belum begitu usang. Kamu bisa menggunakannya. Sekarang kamu jawab ya, kamu mau tidak saya beri pekerjaan?”
Karto               : “Mau pak, pekerjaan apa pak?”
Pak Bambang  : “Mengecat dinding rumah ini. Bisa kan?”
Karto               : “Oh bisa pak. Kapan saya bisa bekerjanya?”
Pak Bambang  : “Besok pagi ya, kamu datang kesini. Nanti saya belikan dulu catnya.”
Karto               : “Baik, pak. Terimakasih, pak. Kalau begitu saya pergi dulu. Salmah, paman pergi dulu ya.”
Salmah            : “Iya paman...”
Selah itu Karto pergi meninggalkan rumah pak Bambang. Esok harinya Karto sudah mulai bekerja di rumah pak Bambang. Sebelum pak Bambang pergi ke kantor, dia berpesan kepada istrinya agar tidak terlalu kasar terhadap Karto. Bahkan dianjurkan untuk memperlakukan dia dengan baik dan sopan.
Setelah pak Bambang pulang dari kantor, separoh dinding rumah pak Bambang sudah putih bersih. Pak Bambang melihat Karto sedang duduk istirahat di depan rumah samil menghisap rokok. Badannya basah oleh peluh. Tampak sekali ia keletihan. Kemudian pak Bambang menghampirinya.
Pak Bambang  : “Bagaimana, To?”
Karto               : “Belum selesai pak, besok ini selesainya, saya capek.”
Pak Bambang  : “Ooh, iya tidak apa. Yang penting diselesaikan. Ini To, upah kerjamu hari ini.” (sambil mengulurkan uang duapuluh ribuan)
Karto               : “Wah, kok banyak pak? terimakasih sekali. Besok pasti selesai ini ngecatnya.”
Karto sangat kegirangan mendapatkan upah dari pak Bambang. Pak Bambang juga semakin yakin kalau sebenarnya Karto bukan orang gila. Buktinya dia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Keesokan harinya saat pekerjaan pertama Karto sudah selesai, Karto bertanya kepada pak Bambang yang baru pulang dari kantor.
Karto               : “Pak Bambang, ngecatnya sudah selesai pak. Apa ada kerjaan lagi untuk saya?”
Pak Bambang  : “Terimakasih ya, tapi untuk pekerjaan sepertinya belum ada.”
Karto               : “Yasudah, nanti kalau ada langsung beri tahu saya ya pak.”
Sikap pak Bambang terhadap Karto membuat pada tetangga heran. Para tetangga menilai keluarga pak Bambang terlalu memberi hati kepada Karto, mereka juga bilang suatu saat keluarga pak Bambang pasti akan kena batunya. Berkali-kali mendengar omongan tetangganya, pak Bambang hanya tersenyum.
Setelah dua hari Karto menyelesaikan tugasnya, tanpa disuruh siapa-siapa, Karto terlihat membersihkan halaman rumah pak Bambang. Dan hal itu dilakukan Karto dengan sangat rapi dan hasilnya benar-benar bersih. Mengetahui itu bu Bambang hanya berdiam diri didalam rumah.
Kemudian setelah pak Bambang pulang dari kantor, dia melihat pekarangan rumah yang semula kotor penuh rumput dan daun berserakan tiba-tiba jadi begitu bersih. Bu Bambang cepat-cepat memberi tahunya setelah pak Bambang masuk kerumah.
Bu Bambang   : “Mas, Karto mas.”
Pak Bambang  : “Kenapa dia?”
Bu Bambang   : “Tadi dia membersihkan pekarangan rumah kita, apa mas yang menyuruhnya?”
Pak Bambang  : “Oh jadi yang membuat halaman rumah kita jadi bersih itu Karto? Aku tidak tahu apa-apa dik. “
Bu Bambang   : “Ah gara-gara mas, aku jadi sungkan sama tetangga-tetangga. Kehadiran Karto di RT sini tidak disukai warga mas, mereka berusaha agar Karto pergi dari desa sini. Tapi keluarga kita malah membuatnya betah. Itu membuatku semakin tidak nyaman mas.”
Pak Bambang  : “Sudahlah, nanti biar aku beritahu si Karto. Tidak usah mendengarkan omongan tetangga. Yang penting kita tidak diganggu kan?”
Bu Bambang   : “Hmm...”
Bu Bambang selalu jengkel mendengar jawaban suaminya yang selalu dingin mengenai Karto. Apalagi pak Bambang juga sering mengijinkan Salmah bermain bersama Karto. Salmah semakin akrap dengan Karto. Hal itu semakin membuat khawatir bu Bambang. Kemudian saat pak Bambang melihat Karto di depan rumahnya, dia keluar dan bertanya-tanya kepada Karto.
Pak Bambang  : “To, kamu ya yang membersihkan halaman rumah ini tadi?”
Karto               : “Iya pak, saya memang sengaja membersihkannya tadi.”
Pak Bambang  : “Memang siapa yang menyurmu membersihkannya To?”
Karto               : “Tidak ada pak, tapi memang saya ingin membersihkannya. Saya ikhlas, pak.”
Pak Bambang  : “Terimakasih ya, ini ada sedikit uang untuk kamu.”
Karto               : “Wah terimakasih banyak pak. Kebetulan saya juga sedang butuh uang.”
Pak Bambang  : “Oh, iya sudah, saya masuk dulu ya, To.”
Karto               : “Tapi pak, boleh kan Salmah saya ajak bermain?”
Pak Bambang  : “Oh iya, tentu, hati-hati. Awas kalau Salmah sanpai kenapa-kenapa.” (sambil tertawa)
Karto               : “Iya pak, Salmah pasti akan saya jaga.”
Kemudian tanpa basa-basi, Karto langsung mengangkat Salmah dan mengajaknya pergi. Bu Bambang tampak khawatir di dalam rumah. Tapi sebisa mungkin dia percaya dengan semua yang dibicarakan suaminya. Semoga Salmah benar-benar dijaga dengan baik.
Tidak lama kemudian, Karto datang dan mengetuk pintu rumah bu Bambang.
Bu Bambang   : “Eh sudah pulang.  Loh, Salmah, itu coklat dari mana sayang?”
Salmah                        : “Dari paman Karto, mah.”
Pak Bambang : “Tadi katanya kamu sedang butuh uang, kenapa malah kamu pakai untuk membelikan salmah coklat?”
Karto               : “Iya pak, saya butuh uang untuk membelikan Salmah coklat.”
Bu Bambang   : “Oh begitu, terimakasih ya. Salmah bilang apa kepada paman?”
Salmah                        : “Terimakasih paman.”
Karto               : “Iya sama-sama. Besok-besok, Salmah mau ya main sama paman lagi. Ya sudah, pak, bu saya pamit dulu. Mari.”
Pak Bambang  : “Oh iya, mari-mari.”
Bu Bambang   : “Mas sudah berapa kali aku bilang jangan biarkan Salmah pergi dengan orang gila itu. Di desa ini Karto dikenal sebagai orang gila mas, aku tidak suka Salmah sering bermain dengan orang yang dianggap warga orang gila itu. Bersikap netral sajalah mas, tidak usah memberinya pekerjaan.”
Pak Bambang  : “Aku tidak memberinya pekerjaan, dik.”
Bu Bambang   : “Ah sudahlah, yang penting jangan seenaknya sendiri membiarkan Salmah bermain dengannya.”
Bu Bambang sangat kesal dengan perlakuan suaminya terhadap Karto. Kemudian saat hari Minggu, Karto kembali lagi kerumah bu Bambang dengan membawa enam buah mangga kecil-kecil. Dia memberikan buah mangga itu kepada bu Bambang saat dia sedang duduk diteras rumahnya dan pak Bambang sedang membaca korang di ruang tamu.
Karto               : “Permisi bu.  Ini ada mangga untuk Salmah.”
Bu Bambang   : “Tak usah, bawa saja mangga-mangga itu.”
Karto               : “Ibu tidak mau?”
Bu Bambang   : “Untuk kamu saja. Disini tak ada yang makan.”
Setelah itu Karto berbalik arah dan melangkah meninggalkan rumah tersebut. Pak Bambang yang mengetahui hal itu langsung spontan meloncat menghampiri dan memelototi bu Bambang.
Pak Bambang  : “Ibu ini apa-apaan sih.”
Bu Bambang   : “Ah sudahlah pak, tidak ada yang makan.”
Pak Bambang  : “Hei Karto, kamu akan memberikan manggamu itu kepada kami kan?”
Karto               : “Eh pak Bambang. Iya pak, tapi ibu menolaknya.”
Pak Bambang  :  “Ibu hanya bercanda, To.  Dari mana kamu mendapatkan mangga-mangga ini?”
Karto               : “Ini dari pedagang buah di pasar, tadi saya membantu menurunkannya dari truk pak.”
Pak Bambang  : “Tadi bu Bambang sedang menggodamu. Sebenarnya kami menginginkan mangga itu. Sini, sudah lama kami tak makan mangga.”
Karto               : (dengan senyum lebar) “Ini, pak. Silakan.”
Bu Bambang hanya mematung dikursi melihat suaminya dan Karto berbicara. Sedangkan Karto wajahnya tampak berseri dan dia sangat antusias memberikan mangga itu kepada pak Bambang.
Pak Bambang  : “Terimakasih, ya.”
Karto               : “Iya pak, saya langsung pergi. Mari.”
Pak Bambang  : “Iya mari.”
Bu Bambang   : “Untuk apa mangga ini terima mas?”
Pak Bambang  : “Mangga ini boleh kamu buang tapi jangan sekali-sekali menolak pemberian orang lain.”
Bu Bambang   : “Apa artinya mangga itu kita terima kalu akhirnya kita buang, mas? (Dengan nada naik.)
Pak Bambang  : “Dengan menerima pemberiannya, berarti kita telah memberi kesempatan baginya untuk berbuat baik kepada orang lain. Sekaligus kita telah memberinya pengakuan, ngewongke bahasa jawanya. Suatu penghargaan tertinggi itu dari rasa kemanusiaan. Dan itulah yang tidak pernah Karto peroleh dari orang-orang disini, sehingga dia marah dan suka melakukan hal-hal yang merugikan.”
Mendengar perkataan suaminya bu Bambang hanya bisa diam. Dan dari hari semakin hari keakraban keluarga pak Bambang dengan Karto semakin baik terutama dengan Salmah. Secara tak diduga Karto malah jadi tukang momong Salmah disaat dia sudah pulang sekolah tapi bu Bambang masih repot. Bahkan jika sehari saja Karto tidak datang, Salmah sering menanyakannya kepada ibunya.
Pak Bambang  : (meminum kopi di ruang tamu dan menunjuk kearah teras) “Lihat, dia makin tampak waras bukan?”
Bu Bambang : “Iya, mas.”
Pasangan suami istri tersebut bersama melihat keakraban Karto dan Salmah dari dalam rumahnya. Wajah Karto tampak terpancar harapan dan rasa percaya diri. Pak Bambang dan bu Bambang merasa bangga telah menolong Karto yang selama ini tidak pernah dianggap orang waras oleh warga tempat pak Bambang tinggal.
Dan begitulah akhir dari cerita “Orang Gila” ini, janganlah kita memandang rendah seseorang dari penampilannya. Selalu hargai Orang lain.

Terima kasih atas dukungan guru pembimbing dan teman-teman. 

(hasil rekamannya ada lho, dengerin di youtube yak, di akunnya Dewiambarable)
semoga membantu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar